Indonesia.go.id - Upacara, Ritual, dan Kuasa

Upacara, Ritual, dan Kuasa

  • Administrator
  • Senin, 26 November 2018 | 01:58 WIB
SISTEM PENANGGALAN
  Sumber foto: Sejarah Bali

Upacara dan ritual keagamaan di Bali yang jumlahnya sangat banyak nyatanya digelar bukan untuk melayani kekuasaan.

Pulau Bali adalah salah satu ikon Indonesia. Begitu termasyhurnya nama Bali di dunia tentu bukanlah proses singkat. Sedari 1930-an nama Bali dan budaya Hindu-Bali telah menjulang tinggi sebagai tujuan destinasi pariwisata bagi masyarakat Eropa, di antara nama-nama daerah lain di Indonesia.

Bicara Bali dijumpai banyak keunikan. Salah satunya dan yang utama, kebudayaan masyarakat Bali memiliki banyak upacara dan ritual keagamaan. Bahkan boleh dikata, pada tingkat kehidupan sehari-hari sekalipun, masyarakat Bali tak bisa dipisahkan dari upacara dan ritual keagamaan.

Wajar saja jikalau dari sana telah banyak lahir hipotesa teoritis. Sebutlah dari Thomas Raffles. Gubernur Jenderal di Indonesia pada zaman penjajahan Inggris ini pernah mendalilkan, Bali ialah "museum" yang melestarikan budaya pedalaman Indonesia prakolonial.

Atau antropolog Amerika, Clifford Geertz, contoh lainnya. Dia tertarik melakukan studi historis Bali abad ke-19, yang dilakukannya dengan pendekatan etnografis untuk membuktikan hipotesa perihal rupa kebudayaan Hindu-Jawa sebelum masuknya Islam, yaitu dengan menempatkan posisi Bali sebagai suaka terakhir tentang kebudayaan Hindu di Nusantara.

Negara: The Theater State in 19th Century Bali (1980), demikianlah judul karya antropologi Clifford Geertz, yang kini bisa dikata telah jadi literatur klasik, lahir dari rasa penasarannya karena tersohornya Pulau Dewata itu.

Adalah benar, sekalipun Bali telah terintegrasi dengan kekuasaan di Jawa sejak era Raja Kediri Airlangga di abad ke-11 atau bahkan dikukuhkan kembali melalui sejarah penetrasi Kerajaan Majapahit di abad ke-14, menurut Geertz, kebudayaan Bali tetaplah kasus partikular dan berbeda dari kebudayaan Jawa maupun daerah-daerah lain di Indonesia yang beragam.

“Tak ada alasan untuk mengatakan bahwa Bali tak berubah selama zaman penjajahan dan setelah Majapahit runtuh”, kata Geertz.

Dia juga menambahkan, adanya suatu praktik atau bentuk budaya tertentu di Jawa masa silam bukanlah didasarkan pada bukti dari Bali saat ini, melainkan harus dicari dari Jawa sendiri atau Kamboja atau mungkin juga di tempat lain.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1543301761_2.jpeg" style="height:500px; margin-left:150px; margin-right:150px; width:400px" />

 

Meskipun demikian, kajian antropologis Geertz ini secara hipotetis dapat menjawab pertanyaan perihal mengapa kebudayaan masyarakat Hindu-Bali terlihat begitu lekat dengan keberadaan upacara dan ritual keagamaan.

“Bali merupakan negara teater, yang di dalamnya raja-raja dan para pangeran adalah impresario-impresario, para pendetanya sutradara, dan para petaninya aktor pendukung, penata panggung, dan penonton. Begitulah Geertz membangun analogi untuk menggambarkan kemasyarakatan di Bali.

Berbeda dengan paradigma modern mengenai kekuasaan negara (state modern), yang menekankan pada seperangkat sistem politik yang melekat di dalamnya, negara dalam konteks Bali merupakan “negara teater”. Negara teater diperintah bukan melalui kekuatan maupun paksaan, melainkan lewat upacara, ritual, dan simbol-simbol.

Menurut Geertz, model kuasa negara di Bali bukanlah kuasa tiranik yang pekat agenda penaklukan. Juga bukanlah model kuasa yang dibangun dari beroperasinya logika dari sistem birokrasi secara baku dan kaku. Bukan model seperti itu.

Disebut negara teater karena model kuasa negara klasikal di Bali, tampaknya lebih mengambil bentuk pertunjukan teatrikal. Dalam pandangan Geertz, berbagai upacara dan ritual keagamaan yang jumlahnya sangat banyak itu dilaksanakan bukan bertujuan untuk melayani kekuasaan. Sebaliknya, justru kekuasaanlah yang melayani upacara dan ritual keagamaan.

Kalender Bali

Menggeneralisasi fenomena Hindu di Bali sama dengan Hindu di tanah India sana, jelas sebuah kekeliruan. Boleh dikata, keyakinan orang Bali merupakan fenomena kompleks yang dilandasi berbagai aspek: Hindu, Siwaisme, Budha, dan tradisi leluhur. Fenomena kompleks inilah yang nanti tercermin pada rumitnya sistem kalender Bali.

Menggeneralisasi kalender Saka di Bali identik dengan kalender Saka di India pasti juga keliru. Sebab begitu disimak seksama, segera terlihat bagaimana sistem penanggalan orang Bali tidak semata mengadopsi, melainkan lebih jauh, bahkan telah berhasil mengadaptasikannya secara kreatif kalender Saka dari India itu sebegitu rupa dengan konteks lokal dan menjadi kalender Saka-Bali sekarang.

Kalender Saka Bali bukan hanya mengkombinasi kalender matahari (sistem solar) dan kalender bulan (sistem lunar) atau sering disebut sistem lunasolar. Melainkan, juga ditambah kalender Tika. Kalender Tika merupakan kalender tradisional Bali yang bersifat non-astronomik, disusun berdasarkan wuku di Jawa disebut pawukon dan wewaran.

Sistem penanggalan masyarakat Bali ini juga disebut ‘padewasan’ atau ‘wariga’. Kedua istilah ini bersifat sinonim alias nisbi bermakna sama. Yakni, berarti ilmu perihal hari baik.

Padewasan berasal dari kata dewasa’ mendapat tambahan awalan ‘pa-‘ dan akhiran ‘-an’. Artinya, hari pilihan, hari baik. Sedangkan wariga, menurut kamus Bali-Indonesia berarti ilmu tentang perhitungan baik buruknya hari. Ada ratusan lontar mengulas perihal wariga. Sebutlah, antara lain, Sundari Gading, Sundari Cemeng, Panglantaka, dan Pengalihan Purnama Tilem.

Bicara makna utama dari fungsi kalender Bali, agaknya tersimpan dalam frasa: ‘ala hayuning dewasa’. Semua sistem perhitungan kalender Bali ini diformulasikan untuk mencari hayuning dewasa, hari baik, hari pilihan, hari yang ‘urip’ atau ada daya hidup-nya.

Setidaknya beberapa hal harus dipahami untuk menentukan padewasan, yaitu: pertama, wewaran, kedua, wuku, ketiga, penanggal panglong, keempat, sasih, dan kelima, dauh.

Wewaran

Wewaran adalah bentuk jamak dari kata ‘wara’ yang berarti hari. Secara etimologi, berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata wara dan mendapat akhiran -an (we+wara+an) sehingga menjadi wewaran. Berarti: istimewa, terpilih, terbaik, tercantik, mashur, utama, hari.

Bicara wewaran berarti ialah bicara perihal hari berdasarkan siklus edarnya. Dalam kalender Bali dikenal ada sepuluh wara. Sepuluh pengelompokan siklus per minggu itu ialah: ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, sangawara, dan dasawara. Ini berarti ada pengelompokan yang per minggunya hanya terdiri dari 1 hari, 2 hari, hingga yang terbesar ialah berdasarkan siklus 10 hari.

Sebagai perbandingan, jika pengelompokan hari pada kalender internasional adalah per minggu (week) yang berjumlah tujuh hari, yakni Senin--Minggu, maka kalender Bali memiliki sepuluh pengelompokan siklus hari per minggu (week).

Pembanding lain, sistem pawukon Jawa lazimnya hanya mengenal model pengelompokan per minggu berdasarkan siklus 5 harian. Apa yang disebut pancawara (umanis, paing, pon, wage, dan kliwon) ini disebut ‘sepasar’ oleh orang Jawa (legi, paing, pon, wage dan kliwon).

Menarik dicatat di sini, banyak ritual yang ditentukan dari pertemuan antara triwara dan pancawara, atau pada pertemuan antara saptawara dan pancawara dan lainnya.

Wuku

Sistem wuku atau disebut pawukon di Jawa menempati kedudukan penting untuk menentukan padewasan. Sekiranya perhitungan berdasar sistem wewaran dianggap sudah baik, tapi berdasarkan secara wuku tidak, maka “dewasa”-nya dianggap masih kurang baik.

Bicara soal wuku, misalnya, kalender Saka Bali juga memiliki 30 wuku. Masing-masing wuku itu berumur 7 hari. Wuku pertama bernama Sinta dan wuku ketigapuluh bernama Watugunung. Berdasarkan perhitungan ini maka setiap hari untuk wuku yang sama akan berulang setiap 210 hari.

Tak berbeda dengan wewaran, berdasarkan pada wuku juga ditemui berbagai hari suci umat Hindu-Bali seperti Budha Kliwon, Tumplek, Tumpak Landep, Budha Cemeng, Anggara Kasih dan lainnya.

Penanggal Panglong

Penentuan padewasan melalui pananggal panglong merupakan sistem penyesuaian tibanya tilem dan purnama menurut perhitungan matematis dengan kenyataan posisi bulan atas matahari dan bumi. Penanggal (tanggal) disebut pula suklapaksa yaitu perhitungan dari bulan mati (tilem) sampai dengan purnama. Lama penanggal 1-15 atau 15 hari. Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada momen purnama ini ialah hari ketika Sang Hyang Candra (Wulan) beryoga.

Sisi sebaliknya ialah Panglong. Disebut pula krsnapaksa, yaitu perhitungan hari sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari. Dari panglong 1-15. Pangglong ke-15 disebut tilem, yang artinya bulan sama sekali tidak terlihat. Pada momentum tilem ini ialah hari ketika Sang Hyang Surya beryoga.

Sudah tentu pada kedua momen di atas, yaitu purnama dan tilem, seluruh pura-pura di Bali ramai oleh umat yang melaksanakan persembahyangan.

Sasih

Penentuan padewasan melalui sasih adalah hitungan baik buruknya bulan-bulan tertentu, yang dihitung dengan berpedoman pada letak posisi matahari terhadap bumi. Apakah posisi matahari berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan).

Dauh

Penentuan padewasan menurut dauh merupakan sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang hendak dilakukan sulit mendapatkan hari baik (hayuning dewasa). Dalam perhitungan dauh mengandung makna, bahwa dalam waktu satu hari terdapat waktu-waktu tertentu yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan upacara.

Kompleksitas dan Kerumitan

Mencermati unsur-unsur penentu ayuning dewasa seperti wewaran, wuku, penanggal panglong, sasih, dan dauh, berarti juga bicara model perhitungan kalender Bali didasarkan pada kelima pola sistem tersebut. Ditambah dengan kombinasi perhitungan sistem luna-solar, maka kalender Saka Bali jelas memiliki derajat kompleksitas dan kerumitan tersendiri, jikalau dibandingkan dengan misalnya kalender umum.

Menyimak fungsi kalender Bali, terlihat jelas orientasi mencari ‘ala hayuning dewasa’ begitu mendominasi ruang penghayatan kewaktuan masyarakat Bali. Bukan saja untuk menentukan momentum upacara dan ritual atau hajatan pernikahan, tetapi juga bisa untuk meramal nasib, memprediksi rejeki, membaca karakter seseorang, bahkan menuntun pelbagai kegiatan sehari-hari.

Menariknya, apa yang buat orang luar Bali bisa jadi dianggap sebagai kegiatan profan  belaka, sehingga tinggal dilakukan saja, seperti pergi ke luar kota entah ke barat atau ke timur, memancing, memotong rambut, dan masih banyak lagi lainnya, akan tetapi bagi warga Bali kesemuanya itu tetap harus dicari hari baiknya.

Kembali pada tafsiran antroplogi Clifford Geertz: kekuasaanlah yang melayani upacara dan ritual keagamaan, dan bukan sebaliknya. Barangkali saja tak sedikit orang yang kritis dan tak setuju dengan hipotesa negara teater-nya itu.

Tapi sekiranya menyimak kalender tradisional Bali, kasat mata formula sistem penanggalan tradisional masyarakat Bali benar-benar disusun untuk melayani upacara dan ritual keagamaan, dan bukan yang lain (W-1).